Jumat, 17 Maret 2017

Pembakar Surga

Sesak jiwa yang telah lama membelenggu nafasku, sekarang harus kupendarkan sedikit demi sedikit. Telagaku telah kering, dipompa habis-habisan oleh nafsu dan kemunafikan. Aku telah membakar surga itu, dan aku harus minta maaf, kepada yang menciptakannya dan kepada penghuninya.


Penghuninya adalah anak-anak kecil bertelanjang dada, ibu-ibu keriput yang mengais-ngais sampah, bapak-bapak sudah beruban yang mengangkat batu-batu kali, pengajar-pengajar ilmu di seluruh pelosok yang rela kelaparan karena keterlambatan gaji, gadis-gadis desa yg terpaksa diekspor ke luar negeri untuk akhirnya diperkosa dan disetrika
punggungnya.


Kasian benar mereka itu, seharusnya mereka melawanku, menghujat tindakku, tetapi mereka justru menyembahku. Karena sekali lagi, seni yang kuciptakan sungguhlah merasuk di dalam hati mereka.


Pencipta surga ini adalah yang aku sembah, yang aku sebut-sebut namanya setiap hari. Yang menganjurkan

distribusi kesejahteraan, yang mengajarkan cinta dan kasih sayang, yang memerintahkan pemimpin untuk kenyang belakangan jika semua rakyatnya sudah kenyang dan lapar duluan jika rakyatnya kelaparan.



Tapi persetan dengan ajarannya, yang penting aku kaya raya, istanaku di mana-mana, gundikku menyebar di seantero jagad raya, toh aku tetap dianggap sebagai penganut yang soleh, dengan peci di kepalaku, dengan rambutku yang mulai memutih tanda kebijaksanaan, dengan kemauanku melaksanakan sholat 5 waktu walaupun bacaan Arabku belang belonteng.



Dan kau lihatlah para tentaraku, yang dengan gagah berani membunuh rakyatnya sendiri yang seharusnya dilindungi, tetapi berhadapan dengan tentara negeri tetangga saja takut setengah mati. Boneka2 ku itu bagai singa yang sudah membaur dengan kambing, tidak mengaum lagi tapi sudah mengembik. Mereka bahkan sudah mulai kalah pamor dengan para sipil bersenjata.



Bangsaku terlena, lihatlah betapaseni yang kuciptakan telah sangat berhasil menghibernasi mereka. Namaku dielu2kan, tanda tanganku diprasastikan, bahkan senyumku pun diabadikan dalam lembaran mata uang.
Aku juga telah meninggalkan anak2 yang mengerti benar akan warisan ilmuku bahwa moral dapat dibeli dengan uang, putusan hakim dapat dibelokkan dengan lembaran cek, bahwa siapapun yang menghalangi harus menemui kematian yang diinginkannya.



Bahkan biografiku dicetak besar2an, jauh lebih besar dari cetakan Mein Kampf-nya Hitler. Lihatlah betapa berhasilnya aku, tv-tv nasional bnyak diisi oleh berita-berita kriminal, dipenuhi oleh sinetron-sinetron tak bermutu yg hanya menjual mimpi dan mengandalkan rating, bioskop2 dijubeli film-film picisan.



Tetapi yang penting rakyatku senang, walaupun perut mereka keroncongan, walaupun otak mereka kedodoran. Dan lihatlah, sekali lagi lihatlah, betapa secara sistematis aku bisa mengeliminir orang2 yang berseberangan denganku.



Pramudya, tua bangka tuli itu, sekarang tinggal matinya saja dia itu.Muhammad Hatta, sosialis kanan itu, tulisannya tak pernah dibaca orang. Tan Malaka, cendekia Padang itu, bukunya masih dilarang. Ulil dan JIL-nya, difatwakan mati oleh senior-seniornya sendiri. Kartini dengan cita-citanya, sekarang hanya jadi peringatan saja, tanpa ada yg mengerti semangat-semangatnya, yang membaca surat-suratnya pun hampir tiada, tereduksi hanya menjadi sekedar ibu-ibu PKK dan Dharma Wanita.



Betapa hebatnya diriku...
Bangsaku sedang gandrung revolusi seks, chicklit bertebaran dimana-mana, walaupun ternyata hanya sampai disana. Bukan seperti Bangsa Prancis yg lebih dewasa dengan revolusi seksnya, tetapi di sini yang ada hanya umbar kemaluan belaka. Pembebasan seks yang tak dibarengi pembebasan akal. Praktek poligami masih subur, bahkan undang-undangnya pun masih kokoh berdiri. Hegemoni laki2 atas perempuan masih makmur,bahkan semakin akan dilegalisasikan oleh partai-partai religi. Bangsaku belum modern, tetapi sudah meninggalkan tradisi.



Aku gembira, gembira sekali... Revolusi awalku yang kucetuskan dengan membunuhi para jendral. Buku-buku, monumen-monumen, peringatan setiap tahunnya, Alhamdulillah, betapa kenikmatan aku telah menemukan seni ini.
Suatu saat nanti, jika arwahku bertemu dengan arwah Niccolo Machiavelli, aku gembira, karena dia akan sujud dihadapanku. Kelakuanku lebih bejat daripada pangeran2 Itali yang ditulisnya, karena aku tidak sekedar mengesampingkan nurani, tetapi bahkan membunuhnya.



Korupsiku lebih parah dari Amangkurat II yang gendut dan menjijikkan itu, konspirasi najisku melebihi prestasi Paku Buwana II yang menjual hutan-hutan Semarang, menjilat kaki Kumpeni dan lari dari tanggung jawab menyejahterakan
rakyat.



Aku telah lulus mengamalkan ajaran Machiavelli dengan summa cumlaude, bahkan aku telah menciptakan seni, seni membakar surga. Real politikku jauh lebih canggih, karena garapanku 200 juta
manusia, sepertinya Otto van Bismarck dan Henry Kissinger pun akan menyembahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berdiskusi!